<body>
Freedom #7
Jumat, 10 Desember 2010

Benaya Sawada, 13 (Yuki)

Summer 1991
Saturday, 2nd Week of July, 08:30 AM
St. Pancras Hospital, London




"Selamat pagi, Ben," seorang gadis yang kini dikenal Benaya sebagai salah seorang saudara sepupunya menjadi orang pertama yang ia lihat pagi itu ketika bangun tidur. Benaya tersenyum lemah, menganggukkan kepala yang masih terasa begitu pusing saat digerakkan, "Pagi, Belle." Ia sudah lebih tenang sekarang setelah satu minggu berlalu. Ucapan orang asing berkulit gelap yang ternyata adalah ayah angkatnya telah membuat Benaya sadar bahwa mengamuk dan berteriak takkan membuatnya lepas dari kenyataan bahwa ingatannya hilang. Perlakuan pria yang kini ia panggil dengan sapaan Papa Yusu membuatnya merasa semua akan baik-baik saja. Begitupun dengan Mama Rei, Bibi Kaori, Belle dan Zeus yang setiap hari datang bergantian menemaninya di rumah sakit.

Baca selengkapnya »

Label:



Freedom #6

Zeus Pierre Elsveta, 19 (Yuki)

"Zeus, Benaya masuk rumah sakit..."

Satu kalimat dari Nabelle sudah cukup membuat pemuda sembilan belas tahun itu terkejut. Tanpa bertanya-tanya lebih banyak selain dimana rumah sakit yang dimaksud, ia dan Nabelle segera beraparasi ke sana. Kemudian, kisah yang dituturkan oleh Yusuke Sawada yang kini resmi menjadi orangtua Benaya membuat Zeus bergeming. Pemuda itu hanya bersandar di tembok kamar rumah sakit memerhatikan Yusuke Sawada dan istri serta Nabelle mengelilingi Benaya, merawat bocah tiga belas tahun yang terlihat begitu mengenaskan dengan perban melilit di kepala dan lebam-lebam di wajah dan tubuhnya yang kurus. Pemuda itu terdiam. Kedua tangannya mengepal menahan keinginan untuk meninju tembok di belakangnya.

Zeus tak pernah tahu sebelumnya bahwa Paman Marquis adalah seorang pria yang sinting. Baru beberapa waktu lalu Grandpa Elsveta bercerita tentang keponakannya yang satu itu pada Zeus. Ambisi untuk membangun sebuah sirkus besar membuat Paman Marquis membuang jati dirinya sebagai bangsawan penyihir lalu hidup di dunia muggle, dalam karavan yang terus berpindah. Grandpa Elsveta bahkan tak pernah tahu kebiasaan memukul yang dimiliki Paman Marquis. Wajar. Pertalian darah antara keluarga yang tidak begitu dekat yang membuat jarak tersebut. Namun sumpah, pemuda itu tak pernah mengira. Karena Benaya selalu terlihat seperti anak yang ceria, yang tak pernah tahu rasanya susah.

Baca selengkapnya »

Label:



Freedom #5

Yusuke Sawada, 30 (Ndhez)

Sekian kalinya mencoba dan Ben tetap menolak. Pemberontakannya kesekian dalam beberapa hari belakangan dengan emosi memuncak, amarah bergejolak, disertai jeritan kesakitan setiap kali putranya itu bergerak.

Ini seperti melihat refleksi dirinya belasan tahun silam. Seperti itukah ia?

Yusuke tahu ini akan sangat sulit sesuai bayangannya. Bukan berarti ia kehabisan akal, hanya saja keadaan Ben yang sangat tidak stabil dan terus memberontak mempersulit semuanya—belum lagi ketika berusaha meyakinkannya bahwa Yusuke dan Rei adalah kedua orangtuanya. Siapa yang akan mudah percaya begitu membandingkannya di cermin? Yusuke tahu walaupun Ben dalam keadaan kurang baik ia tidak sebodoh itu. Seorang anak berparas Eropa dengan orang tua Asia jelas tidak ada ikatan darah—pasti bercanda.
Baca selengkapnya »

Label:



Freedom #4
Kamis, 09 Desember 2010

Benaya Sawada, 13

Membuka mata membuat bocah pirang platina itu merasa seperti berada di atas kapal yang terombang-ambing oleh ombak yang ganas. Ia merasa ingin muntah hanya karena sensasinya. Bibirnya terasa sakit ketika digerakkan untuk bicara selirih apapun, ada bekas luka yang mengering pada sudut bibir kirinya. Bocah tiga belas tahun itu menggigil. Ketakutan. Ditambah dengan kebingungan total yang bertubi-tubi menderanya setiap kali mendengar nama Ben disebut orang-orang asing itu kepadanya. Siapa Ben? Kenapa mereka memanggil dirinya Ben? Siapa mereka? Siapa dirinya? Ini dimana? Kenapa sekujur tubuhnya begitu sakit sampai-sampai ia berharap ingin mati? Pertanyaan itu terus-menerus terulang di kepalanya. Seperti pusaran tanya yang tak henti-henti berputar, membuatnya sesak. Sesak. Ia ingin marah.

Baca selengkapnya »

Label:



Freedom #3

Yusuke Sawada, 30

Hal yang paling ditakutkannya terjadi.

"...Ben?"

Yusuke menelan ludahnya. Menoleh pada istrinya yang masih terkejut bahkan kini menangkupkan kedua tangannya menutupi wajah, beralih pada sang kakak yang sama terkejutnya, ditekannya tombol panggilan untuk memanggil Dokter dan Suster yang bertugas. Yusuke menarik napas dalam sebelum akhirnya bicara lagi, "...kau tidak ingat padaku?" Dielusnya kepala anak itu yang masih dalam keadaan lemah. Dalam hati kecilnya Yusuke tidak ingin percaya putra angkatnya mengalami hal serupa seperti dirinya belasan tahun silam.

Baca selengkapnya »

Label:



Freedom #2

Benaya Sawada, 13

“Kau pembunuh!”

Tangannya menemukan gagang pisau di dalam salah satu laci. Digenggamnya dengan tangan gemetar pisau tersebut dan mengacungkannya ke arah Marquis.

“Jangan, Nak. Kau bukan anak yang mampu melukai orang lain,” Marquis berjongkok di depan Benaya. Pisau di tangannya direbut dengan mudah oleh Marquis. Benaya menelan ludah. “Tapi, aku terpaksa harus menghabisimu karena kau bisa jadi saksi yang memberatkanku. Tidak, tidak, aku tidak mau berurusan dengan polisi. Karena itu aku harus membunuhmu. Walaupun itu berarti aku akan kehilangan sumber uangku.”

“Father, kau sudah gila…” ujar Benaya tersengal ketika Marquis tiba-tiba memegang kepalanya dengan dua tangan dan mulai membentur-benturkannya ke permukaan meja dapur yang keras. Makin lama makin keras. Ia tak bisa melawan. Tubuhnya sudah terlalu lelah dan kesakitan. Tendangan yang kemudian diterimanya berkali-kali pun tak lagi terasa apa-apa. Ia merasa melayang. Seolah ada di sana tapi juga tak ada. Dua hal yang terakhir ia ingat dilihatnya sebelum semuanya gelap adalah ayunan pemukul bisbol Marquis dan wajah Yusuke Sawada.




Kemudian semuanya gelap. Rasa sakit dan ketakutan pun lenyap tertelan kegelapan.

Baca selengkapnya »

Label:



Freedom #1

Yusuke Sawada, 30

Summer 1991
Wednesday, 1st Week of July, 01:30 PM
St. Pancras Hospital, London



"Dulu, aku yang duduk disitu," ujar Kaori tiba-tiba sembari melirik posisi Rei berada dimana ia duduk tepat di sebelah ranjang Benaya. Yusuke tersenyum kecil mendengarnya, "Ya, aku tahu," bisiknya, "Duabelas tahun yang lalu, keadaan yang hampir sama—"

Yusuke memandang sedih putra angkatnya yang masih tak sadarkan diri. Genap tiga hari berlalu Ben dirawat di rumah sakit dan belum ada tanda-tanda siuman. Koma, kata Dr. Lee, dan keadaannya hampir tidak jauh berbeda dari apa yang pernah dialami Yusuke di masa sekolahnya dulu. Kepala Ben yang terbalut oleh perban, pernapasannya dibantu oleh masker oksigen. Hanya tulang punggung yang patah.

Ben, setidaknya, lebih beruntung—mungkin.

"—dan kemungkinan besar Ben akan mengalami hal yang sama denganku," lanjutnya lirih. Kaori nampak terkejut. Yusuke menarik napas dalam sebelum melanjutkan lagi penjelasannya, "Benturan pemukul Baseball itu berakibat fatal. Aluminium. Kepalanya bocor. Lukanya jauh lebih dalam dari apa yang pernah kualami," reflek Yusuke menyentuh sisi kanan kepalanya yang memiliki bekas luka itu; luka yang didapatkannya duabelas tahun silam dalam sebuah kecelakaan.
Baca selengkapnya »

Label:



Profile
your zone for roleplaying


Janani ;DD
Blog ini dibuat untuk para RPers yang tidak sempat menyelesaikan plot RPnya di RPF mana pun. Blog ini dibuat untuk para RPers yang ingin nge-RP dengan setting dunia sebebas-bebasnya. Caranya? IM saya ke usaneko_uq (YM) dan beritahukan gmail Anda untuk saya invite menjadi penulis di blog ini. Atau kirimkan post RP Anda lewat email ke usaneko_uq@yahoo.com


Tagboard
scream out loud

Contents
roleplay title on going

Freedom ||. Friend. Friend. Friend. Friend. Friend. Friend. Friend. Friend. Friend.

Archives
gone with the wind

Desember 2010

Credits
take a bow

Designer
Inspiration